Catatan seminar yang baik, ya harusnya hanya catatan apa saja yang terjadi seputar seminarnya. Tapi kali ini, saya mau cerita komplit!
Seminar ini, termasuk rangkaian seminar yang disponsori BPS, dalam rangka menyambut Hari Statistik Nasional. Temanya, ya yang jadi judul artikel ini. Siapa sangka bahwa setelah topik seminar fix, Sestama ternyata keberatan dengan temanya. Nah, lho! Menurut beliau, “Ini apa ya nggak kebalik? Yang di IPB bicara Peran Statistik Untuk Pembangunan, nah yang ini (STIS – Sekolah Kedinasan Milik BPS), kok ngomongin politik?” Begitu kira-kira statement beliau yang disampaikan via humas. Masilh untung beliau hanya protes, nggak minta ganti topik, Karena keberatan ini kedengerannya H-2! (Okay, saya deg-degan luaaaaarrr biasa). Kenapa sih Fa, ini temanya?!? Nggak ada yang lain, apa? Lho, ini hasil pilihan. Pertimbangannya adalah, banyaknya alumni STIS yang pada kesempatan Quick Count yang lalu, di lingkungan rumahnya, mendadak menjadi nara sumber dadakan, utamanya tentang Quick Count dan bagaimana menerjemahkan hasil Quick Count. Iya nggak? Secara, udah dianggap ‘suhu’ masalah Statistik gitu lho. J Jadi, diharapkan lewat seminar ini, nanti-nantinya kita bisa memberikan penjelasan yang cukup baik tentang ‘Mahluk seperti apakah Quick Count itu’, misalnya. Dan lagi, mengutip pernyataan Sosiolog Ignas Kelden di sini, “Seseorang menjadi ilmuwan karena dia diterima dan diakui dalam suatu komunitas dari rekan-rekan yang bekerja dalam bidang ilmu yang sama. Legitimasi seorang ilmuwan tidak diberikan oleh khalayak ramai, tetapi oleh rekan-rekan sejawatnya berdasarkan pencapaian dalam bidang ilmu yang digeluti. Pada titik inilah terletak perbedaan hakiki antara legitimasi politik dan legitimasi ilmiah”, adakah yang lebih tepat, selain dari membahas kegiatan Statistik di hadapan para ‘Ahli’ Statistik? Maka dengan seminar ini, diharapkan dapat menambah wawasan bagi alumni HAISSTIS sebagai statistisi di masyarakat, tentang bagaimana praktek penelitian sosial di dunia politik. Baik itu dari segi metodologinya (akan dibahas oleh Prof. Ir. Asep Syaefuddin, M.Sc – Dosen Departemen Statistika IPB; Rektor dari Universitas Trilogi, Jakarta; dan Wakil Ketua Ikatan Perstatistikan Indonesia - ISI), maupun prakteknya (akan disampaikan oleh Sjaiful Mujani, MA, Phd. – Pendiri Lembaga Survei Indonesia/LSI dan Sjaiful Mujani Research Consulting/SMRC). Melalui diskusi dengan kedua tokoh ini, dengan dimoderatori Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc (Ketua STIS; Dewan Penasihat HAISSTIS; dan Ketua Bidang Organisasi ISI), diharapkan alumni AIS/STIS yang tergabung dalam HAISSTIS tidak terjebak di dalam politisasi statistik. Yap, cukup sudah pengantarnya. Sekarang, kita lanjut cerita ke seminarnya. Acara dimulai tepat jadwal, pukul 13.30. Ah, tentu saja saya sungguh harap-harap cemas. Apa pasal? Pak Asep sampai jam 11.30 masih menjadi pembicara di IPB (meski wajah senyum, hati mah deg-degan, cuy), dan Pak Saiful Mujani, entah kenapa saya sempat memiliki kesan, kok kayanya dia setengah hati datang ke acara ini (lewat email pernah mengatakan bahwa kemungkinan asistennya yang akan datang menggantikan). Paginya saya hubungi, Alhamdulillah beliau berkenan hadir. Baru bisa merasa lega, ketika kedua pembicara, sudah duduk manis di ruang tunggu VIP-nya (Fa, ini kita lagi ngomongin STIS kan? Ada Fa, ruang tunggu VIP? Jadi ya teman-teman, STIS sekarang, jauuuuuuuuuuuuuh beda dengan jaman kita dulu –jaman elu kali, Fa, bukan gw-! Yang sama cuma Nyai, jadi yang masih punya utang sama Nyai, cepetan lunasin!). Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, Dr. Adi Lumaksono, MA (Ketua HAISSTIS; Deputi Statistik Produksi BPS; dan Ketua ISI), membuka acara dengan menyampaikan sejarah singkat STIS dan HAISSTIS. Beliau juga menyampaikan sederetan lulusan kebanggaan STIS, mulai dari Dr. Sugito Suwito, alumni angkatan I sekaligus alumni pertama yang menjadi Kepala BPS (jaman saya daftar STIS, Kepala BPS-nya masih beliau); Dr. Haryono Suyono, alumni yang menjadi Menkokesra pada tahun 1998-1999 (Kabinet Reformasi Pembangunan); Prof. Dr. Johanes Supranto, terkenal dengan buku Statistik I dan Statistik II nya, selain bukunya Anto Dajan, kemungkinan buku beliau lah yang selalu dijadikan referensi ketika belajar Statistik; dan Prof. Dr. Adler Haymans Manurung, SH, B.St, ahli keuangan yang juga sudah merilis banyak buku ekonomi dan keuangan. Selanjutnya, Pak Adi juga bercerita tentang ‘pasangan emas’ yang dimiliki BPS. Tentunya, kalian yang di STIS-nya sebelum eranya saya, gak asing lagi dengan nama-nama Sukmadi Bolo + Sri Budianti, Pajung Surbakti + Soedarti. Hanya saja, saya baru tahu bahwa mereka merupakan salah satu alumni AIS yang pada tahun 1970-an dapat melanjutkan S2 Statistika langsung ke IPB. (Penting ya, Fa? Eh, satu almamater tauuuuuu). Kemudian, sambutan dari Dr. Suryamin (Kepala BPS). Pak Suryamin mengatakan bahwa tahun ini, untuk pertamakalinya HSN diisi dengan serangkaian seminar. Tentu saja dengan harapan meningkatnya peran serta masyarakat dalam statistik. Penghasil data, pengguna data, pengamat data, semua dilibatkan dalam kegiatan seminar, baik yang diselenggarakan oleh ISI, IPB, maupun HAISSTIS ini. “Di IPB tadi, Bayu Krisnamurti berkata, saat ini statistik dirasakan begitu powerfull, sehingga bisa merubah sesuatu. Ketika sudah dilansir oleh BPS, yang lain seakan nggak ada yang benar. Nah, gimana kalau datanya nggak benar?” lanjut Pak Suryamin mengutip salah satu pembicara di seminar statistika IPB yang berlangsung pagi harinya. (Dalam hati saya berkata, habis kena sindir kah, Pak? :D) Tak lupa, Pak Suryamin menutupnya dengan harapannya terhadap alumni STIS, para statistisi, agar tetap menjaga core values BPS, Professional, Integritas, dan Amanah. Kesempatan memberikan materi pertama adalah Pak Asep. Sebagai mahasiswanya, saya sudah cukup mengenal gaya mengajar beliau. Dan tentu saja, ketika kata kunci yang selalu diucapkan Pak Asep -dimainkan- keluar, saya otomatis teringat ruang kelas di Baranang Siang dan disertasi yang nggak selesai-selesai (eh, kok jadi curcol). Okay, sebelum saya lanjutkan cerita, sebaiknya materinya di download dulu, di sini dan di sini. Kisah dimulai dengan suatu masa ketika si Bapak menimba ilmu di Kanada, saat itu, ketika hendak belajar teori sampling, guru besarnya selalu meluangkan waktu sejenak untuk mengajak merenung bersama. “Renungkanlah! Bahwa kita akan menggunakan statistika untuk mencari kebenaran!” Dan beberapa waktu kemudian, Pak Asep masih nggak ngerti, mengapa ada orang yang menulis tentang “How to lie with Statistics”. Sampai kemudian beliau mendapatkan jawabannya, “Statistics worse than damn lie, bila tidak dipergunakan secara benar”, lanjutnya. Penggunaan statistik dalam politik salah satunya dilakukan oleh Gallup di Amerika. Menurut Pak Asep, datanya si Gallup ini tingkat kejujurannya tinggi. Bedanya, kegiatan semacam Quick Count yang dilakukan Gallup, hasilnya bukan untuk menentukan siapa yang menang, tetapi diberikan kepada partai-partai untuk dianalisis (Okay, ini bedanya sama di Indonesia. Di Indonesia, menang versi Quick Count sudah cukup untuk bikin syukuran, hehehehe). “Quick Count itu mudah, itu kan aplikasi dari teori sampling biasa!” kata Pak Asep. (dan kemudian sederet istilah statistik meluncur tanpa hambatan dari mulutnya Pak Asep, berdasarkan pengamatan saya yang manggut-manggut cuma Bu Sri Budianti aja, secara beliau pakar Sampling) “Sampling, either with replacement or without replacement is an unbiased estimate. Kejujuran dijawab dengan randomness dan representativeness. Kalau gak random, ya ada kemungkinan bias. Karena random itu jaminan unbiased-nya.” Jelas Pak Asep lagi. “Kalau untuk tahu berapanya pakai Quick Count, untuk mendapatkan informasi mengapanya digunakan Exit Poll. Walaupun Exit Poll ini dilakukan oleh pihak yang netral, yang harusnya mengurangi bias interviewer dan bias responden, Exit Poll could be bias!” Tambahnya lagi. “Ada satu kesalahpahaman besar tentang Margin of Error. Terkait dengan 95% confidence interval, itu gak ada hubungannya sama sekali dengan 95% harus percaya.” Pak Asep juga menceritakan tentang salah satu lembaga survey yang menurut beliau langsung ketahuan salahnya ketika menjelaskan MoE dan n yang digunakan. Menurut Pak Asep, sebaiknya Quick Count itu dijadikan alat bantu untuk modernisasi partai, bukan untuk alat kontrol. Jika Quick Count adalah suatu penduga, maka parameternya adalah Real Count dari KPU. Tetapi, berkembangnya konflik berikutnya menjadikan Quick Count sebagai alat kontrol KPU. Intinya, tidak pernah terjadi hasil polling survey meleset dari kebenaran. Bahkan, Burhanudin Murtadi berkata, “Jika Quick Count tidak sama dengan Real Count, maka KPU yang salah!” (wah, ini pasti banyak yang nanya entar, batin saya). Sessi selanjutnya adalah sessi dimana Pak Sjaiful menceritakan pengalamannya di patenelitian politik. Namun, dia membukanya dengan sebuah curhatan yang menjadi penjelasan buat saya, kok telepon saya, email saya, seringnya dicuekin. Hehehehe…. “Sebetulnya saya malas datang ke acara seperti ini, biasanya saya wakilkan pada yang lebih muda! Tapi, kali ini saya memutuskan untuk harus hadir.” Terus terang, saya kembali berpikir tentang ucapan Pak Ignas, kalau bukan di sini, adakah tempat yang lebih tepat untuk memperdebatkan ini? “Ilmu politik di Indonesia agak kurang mengapresiasi statistik, baru sejak 99, ketika kerangka makronya kembali ke demokrasi (reformasi). Di dalam demokrasi ini, ada kebebasan untuk berpendapat.” Menurut Pak Sjaiful, sebelum era reformasi, tidak mungkin bertanya dari rumah ke rumah tentang persepsi/preferensi politik seseorang. Itu adalah hal yang tabu untuk dilakukan. Bidang keahlian Pak Sjaiful adalah behavioural information, revolusi paradigma, perilaku politik berbasiskan psikologi, bidang ilmu yang berkembang sejak 1950. Dalam penggunaan istilah, belum banyak yang menyatakan politik adalah science (political sciences), anggapannya masih ke political studies. Ini adalah awal masuknya statistik ke dunia politik. Pada saat 98, di mana Indonesia jatuh, ada krismon, keadaan sangat terbuka, semua orang bicara, itu adalah dasar sosial makro untuk studi politik kuantitatif. Studi tentang opini publik sangat memerlukan bantuan statistik. Jika statistik dibantu oleh IT, politik dibantu oleh statistik. Bersama Lembaga Survey Indonesia, ada dua kegiatan yang biasa dilakukan. Survey Opini Publik, ini yang paling rumit. Harus mewawancarai tentang opini. Ini merupakan survey yang subject matternya kontroversial, tidak ada yang netral. Masyarakat berkelompok dengan kepentingan masing-masing. Selanjutnya adalah Quick Count, mengikuti prosedur keilmuan, sehingga probabilitas untuk salahnya kecil sekali. “Tetapi saya ada gak setujunya nih, dengan Prof. Asep. Tadi dikatakan bahwa parameternya adalah Real Count KPU. Secara ilmiah, tidak ada jaminan data KPU itu benar!” sanggah Pak Sjaiful terhadap pernyataan Pak Asep. “Kalau hasil survey Quick Count kami kemudian mendekati hasil KPU, kami tidak merasa senang, juga tidak senang. Bagi kami itulah hasilnya. Segala macam perbedaan, harusnya diselesaikan dengan kaidah-kaidah keilmuan, bukan kaidah lainnya. Karenanya, metodologi kami lebih terbuka untuk diteliti.” Kegiatan Quick Count dipopulerkan oleh National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute (IRI). Istilahnya sendiri sebenarnya adalah Parallel Vote Tabulation. Istilah Quick Count sendiri dipopulerkan Desi Anwar, pada Pilpres 2004. Kegiatan ini terinspirasi dari Pemilu Filipina yang ketika itu memenangkan Marcos. Tidak percaya akan ini, relawan gereja mengumpulkan data di semua tps sebagai data tandingan dari KPU-nya Filipina. Ternyata, hasil relawan gereja ini menunjukkan Aquino lah pemenang pemilu sebenarnya. Ketika kemudian muncul Negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur, quick count dilakukan untuk menjaga suara, agar tidak terjadi kebocoran atau manipulasi di jalan. Sebagai penutup diskusi, Pak Hamonangan membahas, jika menurut Pak Asep yang terpenting adalah etika dan kejujuran, Pak Sjaiful menegaskan bahwa survey opini publik mengandung non sampling error. Sessi pertanyaan. Kesempatan pertama diberikan kepada Bapak dari Unisba (Si Bapak teh pede pisan saya kenal namanya, nyebut nama meuni pelan gak kedengeran). Seperti dugaan saya sebelumnya, pertanyaannya, terkait kepercayaan terhadap hasil survey, ketika kita membuat confidence interval 95%, artinya ada sisa 5% yang mungkin salah. Jadi, keyakinan lembaga survey mengenai surveynya, adalah benar menurut survey. Contohnya, meledaknya pesawat Challenger yang dikatakan hanya memiliki peluang 0,0000 sekian persen untuk meledak. Selanjutnya, pertanyaan dari Pak Setia Pramana (yang ini pamali kalo gak kenal, dosbing ini mah). Statistik di lembaga survey itu, tujuannya untuk pengelolaan opini publik, atau penggiringan opini publik? Terkait dengan kenyataan masyarakat Indonesia,adakah upaya untuk memasyarakatkan statistik, agar masyarakat tidak tersesat? Apakah ada kode etik statistisi? Apakah ada disclaimer untuk setiap kegiatan, siapa yang membiayainya, sehingga kita bisa memikirkan biasnya. Pertanyaan Ifa, dari STIS, bagaimana menjelaskan confidence interval 95% itu ke masyarakat agar lebih mudah dimengerti masyarakat. Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Pak Asep menjelaskan CI 95% adalah percobaan berulang-ulang maka penduga akan berada pada interval ini, 5% itu adalah kemungkinan keluar dari populasi. Sekali lagi beliau menegaskan bahwa selang kepercayaan tidak sama dengan percaya. Beliau mengingatkan bahwa bicara statistik adalah bicara tentang kultur akademik. Sayangnya, kultur kita adalah kultur politis. Pemerintah ikut bertanggungjawab akan hal ini, karena rendahnya alokasi anggaran untuk riset. Bahkan jauh tertinggal dari Malaysia yang dana risetnya mencapai 2,5% GDP-nya. Fakta lainnya, dari sekitar 3000 program studi di PTN/PTS di Indonesia, program Statistika hanya ada 28 saja. Tentu saja kultur knowledge base society tidak tercapai, ditambah lagi, para statistisi suka untuk menggunakan istilah-istilah rumit, seakan itu menyelesaikan permasalahan dunia. Sedangkan Pak Sjaiful menambahkan, kaidah yang disepakati adalah kaidah statistik. Tentang KPU yang salah, kita tidak tahu bagaimana KPU bekerja (beyond our control), tetapi kita mulai percaya dengan apa yang di bawah kendali kita. Selanjutnya, challenge. Diadu, dengan metode kita seperti ini benar atau tidak. Mengenai penggiringan opini public, masyarakat sekarang begitu terbuka, untuk digiring maupun tidak. Sebagai professional, saya memiliki ilmu, terserah orang apakah akan mempercayai saya atau tidak. Dan tentang disclaimer, aturan PERSEPI mengharuskan hasil yang dirilis ke public disebutkan sumber dananya. Tapi, inipun tak banyak yang melakukan. Sessi kedua pertanyaan dimulai Pak Yulianto. Pertama, terkait dengan hasil Quick Count terakhir yang berbeda secara signifikan. Ini menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap statistik. Apa sanksi yang diberikan kepada lembaga survey yang out of procedure? Kedua, permohonan klarifikasi pada Pak Sjaiful tentang bagi-bagi uang yang dilakukannya. Selanjutnya pertanyaan dari Pak Windhiarso, politisi kita menggunakan ukuran Statistik sebagai indikator-indikator. Bagaimana pandangan terhadap politisi yang menggunakan ini? Pak Sjaiful menjelaskan bahwa kegiatan yang dimaksud bagi-bagi uang itu adalah pembagian biaya transport pemasangan spanduk ajakan untuk tidak memilih calon tertentu. Dari sisi epistimologi, peneliti haruslah netral. Tetapi dari sisi moral – aksiologi, melihat dari tujuan untuk apa ilmu itu, saya tidak boleh netral. Sebagai warganegara punya hak politik juga, justru menurutnya, ilmuwan yang tidak jelas sikapnya adalah ilmuwan yang tidak bermoral. Tambahan Pak Asep yang juga menutup sessi tanya jawab ini, bahwa causality dalam social sciences tidak serobust dalam ilmu fisika. Seminar berakhir jam 16.15. Kalau masih ada keping yang hilang dari catatan ini, silahkan ditambahkan. Kalau ada yang salah, maafin, mungkin saya salah catat. Kalau mau konfirmasi ke pembicara, kontak person bisa didapatkan dengan menghubungi saya yaa.... kirim email aja dulu, OK? Selamat Hari Statistik Nasional, pemirsa!
3 Comments
Menyambut Hari Statistika Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) menggandeng beberapa organisasi statistik untuk menyelenggarakan seminar statistik. Tema HSN 2014 ini adalah “Dengan Semangat HSN Kita Tumbuhkembangkan Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan Statistik”.
Pada 19 September 2014, Ikatan Statistika Indonesia (ISI) dan BPS menyelenggarakan seminar dengan tema “Peningkatan Peran Serta Masyarakat Untuk Mendukung dan Mengawal Kebijakan Pemerintahan Dalam Bidang Kedaulatan Pangan, Energi, dan Restorasi Ekonomi Maritim Indonesia”. Tema yang menjadi issue hangat, menyambut kabinet yang akan datang. Seminar dibuka dengan sambutan Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin. “Hari Statistik Nasional bukan hanya milik Badan Pusat Statistik”, ujar beliau. Bukan tanpa sebab, sampai hari ini pun masih ada yang beranggapan bahwa HSN adalah –Hari Ulang Tahun BPS-. Karena ini juga adalah acara ISI, asosiasi profesi bagi statistisi, Suryamin berpesan agar kegiatan statistik seperti Hitung Cepat, menjadi perhatian dari ISI. Selain itu, tantangan bagi ISI apakah dapat memunculkan indikator baru yang bisa digunakan untuk evaluasi kebijakan. Memasuki acara seminar, yaitu diskusi panel yang dimoderatori oleh Leonard Samosir, Adi Lumaksono, Ketua ISI sekaligus Deputi Bidang Statistik Produksi BPS mengawalinya dengan memaparkan kontribusi apa yang sudah dilakukan BPS dalam rangka kedaulatan pangan. Adi menjelaskan bahwa salah satu kegiatan besar BPS yang baru saja berlangsung, Sensus Pertanian 2013, merupakan salah satu upaya penyediaan data terkait produksi pertanian Indonesia. Materi dapat diakses di sini. Selanjutnya, tokoh yang hangat diperbincangkan di dunia pertanian, Masril Koto. Secara singkat dia menjelaskan salah satu yang menghambat majunya pertanian kita adalah karena pelakunya yang terus berkurang. “Tanah tidak berkembang, orang makin berkurang, sehingga upaya kami dalam menyejahterakan petani adalah dengan menambah mata pencahariannya”, ujarnya. Berbagai cara dilakukan, mulai dari beternak ikan di belakang rumah, maupun menjadikan pematang sawah media untuk menanam buncis. Ada banyak cerita menarik yang disampaikan Masril. Diantaranya kekecewaannya terhadap salahsatu Bank Pemerintah yang dianggap menyulitkan petani untuk meminjam karena mensyaratkan adanya jaminan. Inilah yang menjadi pemicunya untuk mendirikan Bank Petani, dengan produk seperti Bank pada umumnya, ada simpanan, ada pinjaman. Masril berupaya agar anak-anak muda mau perduli dengan nasib petani, dengan strategi menjadikan para petani sebagai pemegang saham di Bank Petani, dan merekrut anak-anak petani sebagai pengelola dari Bank Petani. Sampai sekarang, Masril berhasil bekerja sama dengan 580 kelompok tani, dengan kurang lebih 1500 pengelola. Berbagai inovasi dilakukan Masril dengan Bank Petani ini, diantaranya dengan nama produk simpanan yang sesuai dengan kebutuhan petani, misalnya: Tabungan Ibu Hamil, Tabungan Pendidikan, Tabungan Sosial, Tabungan Hari Raya. Dua produk terbarunya adalah Tabungan Niat Naik Haji, dan Tabungan Kepemilikan Ipad Untuk Anak Petani. Terkait produk Tabungan Kepemilikan Ipad Untuk Anak Petani, Masril menyimpan cita-cita, kelak anak petani tidak perlu membawa buku lagi ke sekolah. Cukup Ipad, di mana didalamnya tersimpan buku elektronik. Terhadap pertanyaan, apakah ada sanksi bagi petani yang tidak membayar pinjamannya, Masril menjawab, “Kami hanya menjalankan sanksi sosial, cukup diumumkan di Mesjid, yang tidak membayar pinjaman adalah si A, istrinya bernama si B, anaknya C dan D”. Menurutnya, cara itu cukup efektif untuk membuat petani tertib dalam membayar pinjaman. Bagi Masril, untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi petani, caranya haruslah dengan menghabiskan waktu dengan petani. Meluangkan waktu untuk mengamati kesehariannya, berdiskusi dengan istri petani, anak petani. Perlu kira-kira dua hari untuk mendapatkan gambaran lengkap permasalahan petani. Masril menutup ceritanya dengan menyampaikan harapannya pada pemerintahan yang akan datang, “Biarkanlah kami bekerja. Jangan terlalu didikte dari Jakarta. Tanah yang cocok untuk padi, janganlah dipaksa untuk menanam jagung hybrida!” Tulisan Masril tentang Pemberdayaan Masyarakat dapat diakses di sini. Setelah mendengarkan cerita menarik dari Masril Koto, selanjutnya adalah paparan mengenai kondisi terkini ketahanan energi Indonesia. Disampaikan oleh Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional. Sebuah sindiran tajam dilemparkan Tumiran, “Statistik sangat penting untuk referensi baseline kita, kalau saja data itu benar!”. Dia menambahkan bahwa data BPS seringkali tidak sama dengan data intelijen internasional, jika terkait dengan energi. “Bangsa Indonesia belum cerdas dalam mengelola sumber energi”, lanjut Tumiran. Beliau berkata, tidak ada Negara seperti Indonesia. Bukan merupakan Negara penghasil batubara terbesar, juga bukan Negara penghasil gas terbesar, namun mampu mencatatkan diri sebagai Negara eksportir batubara dan gas No. 1 di dunia. Menurut Tumiran, faktanya sejak 2002 Indonesia sudah melakukan import BBM. Jika ada yang mengatakan Indonesia adalah Negara penghasil minyak yang cukup besar, yang benar adalah Negara dengan potensi penghasil minyak. Potensi, karena masih perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut, apakah betul daerah itu mampu menghasilkan minyak, gas, ataupun batubara. Terakhir, kita mengeluarkan 450 Triliun untuk import BBM. Dari sisi total energy yang diekspor dibandingkan yang diimpor, terjadi surplus energi. Tetapi dari sisi nominalnya, terjadi penyusutan. Bagaimana cara mengerem ini? Menurutnya, dengan konsep Added Value. Perbaikan infrastruktur, dan adanya pemikiran dari kepala daerah untuk memenuhi kebutuhan energy rakyatnya secara mandiri. Selain itu, menurut Tumiran, pengurangan subsidi BBM menjadi hal yang perlu dilakukan. “Kita kurangi 200 triliun, namun yang harus dilakukan dengan alokasi ini adalah perbaikan infrastruktur, membangun kilang minyak baru, meningkatkan kapasitas listrik, dan membangun perumahan bagi pekerja”, lanjutnya. Lebih lengkap dapat diakses di sini. Diskusi dilanjutkan dengan paparan dari Nico Harijanto, ketua PERSEPI. Nico menceritakan bahwa ke depannya, evaluasi kebijakan pemerintah berbasiskan data empirik akan semakin popular untuk dilakukan. Pemerintahan Jokowi-JK menurutnya akan menggunakan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Maka penelitian mengenai evaluasi kinerja pemerintahan, feedback program yang akan dijalankan, hingga evaluasi terhadap rencana kerja yang akan dijalankan akan semakin sering dilakukan. Selain penelitian opini publik yang dilakukan dengan metode wawancara, saat ini penelitian opini publik sudah mulai mengarah ke penelitian sosial media, kita berhadapan dengan big data. Semakin banyak lembaga yang melakukan kajian opini publik, karenanya menurut Nico, perlu ada semacam standarisasi dan sertifikasi, supaya jelas basic kompetensi apa yang harus dimiliki oleh peneliti. Paparan Nico bisa diakses di sini. Menutup paparan Nico, Leonard Samosir memberikan pernyataan, terkait dengan keterbukaan informasi, sebagai pemilik informasi, tidak semua informasi perlu untuk disampaikan. Kita harus melihat dulu manfaat dari informasinya. Panelis terakhir adalah Christianto Wibisono, dari Komite Ekonomi Nasional. Christianto mengutip kata-kata Masril Koto tentang ‘perasaannya’ berbicara di antara para Professor. “Seharusnya pembicaraan Professor lah yang harus bisa dimengerti oleh rakyat,” ujarnya. Dia pun mengutip pernyataan Burhanudin Muhtadi, “Rakyat sudah muak dengan pakar!” Menurutnya, hal inilah yang membuat pilihan rakyat jatuh pada Jokowi-JK. Ada permasalahan penting yang perlu mendapatkan perhatian, kata kuncinya adalah Delivery (penyampaian pesan) dan Implementasi (perwujudan program, bukan wacana terus). Kritik banyak disampaikan Christianto Wibisono, baik terhadap pemerintahan sekarang, maupun yang akan datang. Contohnya, pada pemerintahan sekarang Christianto berujar “Apakah pertumbuhan ekonomi 7% itu suatu kemajuan? Yang lain juga tumbuh kok, mencapai 10%!”. Sedangkan untuk pemerintahan yang akan datang “Jumlah kabinet di Indonesia peringkat 3 terbesar di dunia, dengan 62 orang di posisi kabinet (+ wakil menteri). Dengan komposisi seperti ini, GDP perkapita Indonesia hanya peringkat 22 dunia!” Christianto juga menyampaikan mata dunia saat ini tertuju pada 3 pemimpin Negara, Narendra Modi, Xi Jinping, dan Joko Widodo yang dikenal sebagai Triumvirate Asia. Selain itu, Christianto juga menceritakan titik-titik penting kebijakan ekonomi di Indonesia, menurutnya 2 presiden di Indonesia, jatuh karena BBM dan prosedural. Ini tentunya sebagai peringatan bagi pemerintah yang akan datang, untuk berani mengambil tindakan tidak popular jika itu untuk menyelamatkan Negara. Paparan Christianto dapat diakses di sini. Sampai jumpa di Seminar Statistika berikutnya. :) Selamat Hari Statistik Nasional! Triwulan empat tahun 2006, aku resmi bertugas di BPS Kota Jakarta Pusat. Ini juga kali pertamanya aku berkenalan dengan seorang ibu, yang punya profesi nyentrik, Koordinator Statistik Kecamatan. =) Saat itu, dia menjabat sebagai KSK Kecamatan Menteng. Kecamatan elite di Kota Jakarta Pusat, karena salah satu kelurahannya, Kelurahan Gondangdia, merupakan tempat tinggal kebanyakan Pejabat Negara.
2007 BPS melaksanakan Sensus Ekonomi Lanjutan, yang merupakan survey terhadap sebagian besar hasil Sensus Ekonomi yang dilakukan BPS tahun 2006. Seingatku, sebagai staf seksi IPDS, peranku dalam survey ini selain sebagai PML, juga menangani laporan pemasukan dokumen dan pengiriman dokumen ke BPS Provinsi DKI Jakarta. Sensus Ekonomi, kawan, di kota besar seperti Jakarta, merupakan pekerjaan yang ‘super duper’ melelahkan. Mengapa? Ketakutan sebagian besar pengusaha akan adanya keterkaitan survey yang dilakukan BPS dengan pajak, menghambat partisipasi responden dalam survey ini. Belum lagi birokrasi pada perusahaan responden, ketidakrapian dalam pengadministrasian sehingga tidak bisa memberikan data yang diminta, atau keraguan terhadap kerahasiaan data yang menyangkut asset dan omset perusahaan. Masih teringat di benakku, Mpok Meni, yang tiap hari menyimpan direktori perusahaan Usaha Menengah Besar dan Berkala di tasnya, melakukan penyisiran terhadap UMB di kawasan Kecamatan Menteng. Tekanan dari atasan bahwa DOKUMEN HARUS MASUK membuat kami, di posisi PML maupun PCL, gerilya dalam melakukan pengumpulan dokumen. Mungkin Mpok Meni kelelahan… Selesai Sensus Ekonomi Lanjutan ini, Mpok Meni membulatkan tekad untuk mengundurkan diri dari KSK. Segala macam bujuk rayu yang kulayangkan (aku dipasangkan dengan Mpok Meni, sebagai Koordinator Kecamatan Menteng) bahwa aku akan membantu administrasi kegiatan, tidak berhasil. Bukan tanpa alasan Mpok Meni kelelahan… Budaya titip menitip mitra, tanpa bertanggungjawab akan titipannya, membuatnya sebal dengan mitra yang tidak bertanggungjawab. Juga kesulitan dalam menemukan mitra andalan, upah PCL yang tidak seberapa untuk kawasan elite seperti Menteng, jadi salah satu kendalanya. Dan pimpinan pun menyetujui permintaan Mpok Meni, meninggalkan aku yang menderita, karena sepertinya aku tak cukup bersahabat dengan KSK yang sesudahnya. Dan lagi, bagiku jabatan KORCAM itu hanya jabatan imaginer, yang diputuskan menggunakan SK untuk mendukung suatu kegiatan tertentu. Waktu berlalu, pimpinan berganti. Padatnya jadwal survey rutin di BPS Kota membuat KSK yang militan sangat diperlukan. Belum lagi tuntutan Pak Camat agar KSK hadir dalam setiap rapat di Kecamatan. Hingga akhirnya, ada salah satu camat yang ‘berteriak’ karena KSK-nya tidak pernah kelihatan. Menyikapi hal ini, pimpinan pun melakukan rotasi KSK. Dan… Si pejuang wanita itu pun kembali masuk ke dalam daftar nama KSK. =) Sebagai bukti bahwa belum ada yang sanggup menandingi betapa ‘militan’ nya dia di BPS Kota Jakarta Pusat. =) Kali ini, Mpok Meni mendapat kepercayaan sebagai KSK Kec. Cempaka Putih. Begitulah… Aku pun kemudian menjalankan tugas belajar. Lama tak terdengar kabar dari Mpok Meni, hingga aku kembali. Bahkan dengan sistem UK sekalipun, Mpok Meni tetap ‘leading’ dalam pemasukan dokumen (BRAVO!!!). Selain sebagai KSK, Mpok Meni juga dipercaya sebagai penanggungjawab koperasi pegawai BPS Kota Jakarta Pusat. Selain itu, Mpok Meni juga menyediakan ‘kebutuhan cemilan’ bagi teman-teman di kantor. Berjualan permen, rokok, dan yang terbaru adalah susu kedelai. Dengan pekerjaannya yang sekian banyak itu, tetap, survey rutinnya selalu dapat diandalkan. Ini tak lepas dari bantuan suaminya, Pak Hendrawan, yang juga Mitra Andalan BPS Kota Jakarta Pusat. Pernah, suatu sore. Aku bertemu Mpok Meni, dalam keadaan yang lusuh, bau keringat. Kutanyakan, ada apa? Dijawabnya sambil tersenyum, “Motor mogok, Fa. Bengkel jauh.. Kepaksa deh dorong-dorong motor nyari bengkel…” Setengah sedih kutanya kembali, “Memangnya orang di jalan ngga ada yang bantuin, gitu?” Dia malah tertawa, “Ini Jakarta…” katanya. Seakan menjawab segalanya. Hidup di Kota Jakarta, kita harus lebih ‘kuat’. Ah, Mpok Meni. Ketika aku dipindahkan ke BPS Prov. DKI Jakarta, aku berjanji, akan menulis sesuatu tentangnya. Maka ketika salah satu KSK sahabatku memberikan kabar bahwa Mpok Meni akan ke istana, luar biasa senangnya hatiku. Segera kuucapkan selamat padanya, pada keluarganya. Dan kuwujudkan janjiku dengan catatan ini. Selamat ya Mpok Meni… Semoga juga menjadi yang terbaik untuk tingkat Nasional. Jangan menyerah dengan belajar komputernya yaa…. Kan sudah ada laptopnya. =) nanti kalau sudah bisa bikin facebook, add yaaa… Sebelum mendengar cerita sahabat saya ini, saya pikir pekerjaan petugas sensus itu sudah pekerjaan paling aneh sedunia. Segala macem garam lah ditanyain berapa pemakaiannya selama seminggu terakhir, siapa juga yang mau iseng nimbang. :-)
Sampai saya bertemu sahabat saya ini, dan bercerita tentang pekerjaannya. Customer Service Operator Telepon Seluler, yup, alias tukang jawabin keluhan kita semua atas layanan operator ponsel, di nomor sekian sekian sekian itu lho..Dasar emang udah nasib jadi petugas sensus, kalo bicara pekerjaan, saya akan menanyakan: pendapatan, jam kerja seminggu.. Bukan bermaksud rese atau pengen tau urusan orang, tapi buat bahan 'referensi' kalo nemu responden dengan pekerjaan serupa. Setelah 'profil' dibuat dan disimpan dalam ingatan, mulailah pertanyaan iseng. "Ngapain aja sih kerjanya?" Tanya saya.. Sahabat saya ini bilang, "Ya jawab-jawabin telepon pelanggan lah.." Sayapun tergelitik untuk ingin tahu lebih lanjut, "biasanya, sehari menjawab berapa panggilan telepon dalam satu shift kerja itu?" Sahabat saya bilang, "rata-rata 120 panggilan telepon.."Woooowww... 120 panggilan, jika rata-rata panggilan itu sekitar 3 menit, maka dia menghabiskan 360 menit, atau setara dengan 6 jam, untuk mengoceh.. Hehehe.. Padahal, teman saya ini orangnya pendiam lho.. ;-) Pertanyaan selanjutnya.. "Ceritain dong, ada yg lucu-lucu ngga nelponnya?" Tanya saya lagi..Dia bilang, "yg ngeselin ada, yg lucu juga banyak banget..." Sambil bercerita dia menjelaskan bahwa sop nya mengatur setiap operator untuk tidak boleh marah, tidak boleh mempertanyakan keseriusan pelanggan dengan permasalahannya, dan tidak boleh mengatakan bahwa sedang ada masalah.. (Hahaha.. Sejatinya, sahabat saya ini seorang yang idealis sekali.. Sekarang dia merasa bodoh karena sering berbohong.. Tapi, kesabarannya makin dilatih..) Dia bilang. Ada pelanggan yg berlangganan sms premium sampai 140 layanan.. Jadi, pulsanya mau diisi berapapun pasti langsung habis (korban iklan tv nih, dugaan saya). Untuk operator dengan layanan bahasa inggris ternyata sering dijadikan 'partner latihan conversation' oleh anak-anak kecil (waahh.. Anak kecil yg kreatif.. Saya aja ngga kepikiran untuk melakukan sesuatu hal seperti itu). Yg terakhir, kata sahabat saya ini, ada anak kecil yang dengan fasih sekali membacakan 'baris-baris ingredients di belakang bungkus mie instant', dan sayapun makin tergelak dibuatnya. Selanjutnya, ceritanya lagi, kadang bingung, karena orang di Indonesia itu beranggapan dengan menelpon Cust. Service segala permasalahannya terselesaikan. Padahal, tidak sesederhana itu..Contohnya, ada pelanggan yang menelpon akan mengajukan tuntutan ke operator karena rumahnya tertimpa bts. Pada umumnya, bts itu dikelola swasta, dan para operator seluler itu hanya menyewa dari mereka. Sahabat saya bertanya, darimana pelanggan itu mengetahui bahwa bts itu milik operator tempat sahabat saya ini bekerja.. "Ya tahulah.. Catnya kan warnanya merah.." Kata si penelpon tadi.. Hehehe.. (Adakah bts yang tidak berwarna merah?) Dan banyak lagi kisah lucu lainnya. Bagaimana setting internet di hp, setelah panjang lebar dijelaskan, ternyata hp pelanggan tidak menyediakan fasilitas koneksi internet. :-) ada yg betul-betul iseng karena menelpon hanya untuk mengulangi kata-kata si operator, dan hebatnya, sahabat saya ini tidak marah (karena tak boleh marah), dan tidak boleh memutuskan telpon (karena sop nya seperti itu). Dia sekarang menjadi orang yg sabaaaarrr sekali.. :-) Tapi dia bilang, ada juga pelanggan yang di 'blacklist'. Bayangkan saja.. Dalam sehari, pelanggan tadi bisa melakukan 30 kali panggilan, dengan keluhan yg sama.. (Apa dia ngga punya kerjaan lain ya?). Dan kadang juga dia suka ngga habis pikir, pernah dia menerima telpon dari pelanggan yg melakukannya sambil -be a be-. Dia bilang.. "Duh, itu orang. Ngga punya perasaan amat.. Sambil nelepon, sambil dengerin pintu digedor2, dan sambil denger dia nyiram toiletnya.. Dengernya aja udah sebel banget.." Ah, sahabatku.. Tadinya kupikir, pekerjaan petugas sensus merupakan pekerjaan paling aneh dan terdengar iseng. Hehe.. Ya, setidaknya meski kamu dimarahi pelanggan, kamu tidak harus berhadapan dengan mereka secara langsung, kan? Takdir membawa saya menjadi petugas sensus, meskipun sungguh, seumur hidup saya tidak pernah bercita-cita menjadi petugas sensus. Begitulah, menguatkan pembuktian bagi saya, bahwa bagaimanapun manusia hanya bisa berencana, Ia jugalah yang akan menentukan bagaimana jadinya.
Kali ini, kawan... Saya berhutang janji. Janji kepada seorang kawan, yang meminta saya menuliskan pengalaman sebagai petugas sensus. Tahun ini, sejak sensus pertama saya, adalah tahun ke-10 di dunia sensus dan survey. Namun, kali ini saya hanya akan membagi kisah sensus pertama saya. Semoga kawan berkenan membacanya. Tahun 2000. Status sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, yang merupakan sekolah kedinasan di bawah Badan Pusat Statistik, memberikan kami kesempatan untuk terjun langsung dalam kegiatan pendataan penduduk akbar ketika itu, SP2000, nama kegiatannya. Saat itu, saya bertugas sebagai petugas pencacah lapangan (PCL - istilah resmi yang biasa digunakan oleh BPS) di salah satu Kelurahan di Jakarta Selatan. Hari-hari yang melelahkan, namun banyak memberikan pengalaman yang bermanfaat untuk kegiatan sensus dan survey saya di masa yang akan datang. (status saya yang kemudian beralih menjadi PNS di BPS membuat julukan 'Petugas Sensus' makin melekat, =D) Setelah melewati serangkaian pelatihan, semua petugas yang dilibatkan dalam sensus dan survey yang dilakukan BPS dilatih terlebih dahulu untuk pemahaman konsep dan definisi, tujuan survey, serta role playing agar tidak kaku ketika sudah melaksanakan tugas di lapangan. Mulailah hari-hari saya sebagai petugas sensus... 1. Me and my uniform... Ketika masih kecil, saya diajarkan untuk 'bertanyalah kepada orang yang berseragam'. Entah mengapa petuah ini disampaikan. Namun begitulah. Takdir membawa saya untuk tidak pernah lepas dari seragam. Sekolah, kuliah, bahkan hingga bekerja pun saya menggunakan seragam. Seragam saya di kala itu berwarna krem, dengan rok berwarna coklat muda. Seperti juga sekolah kedinasan lainnya, saya juga mengenakan atribut seperti pangkat, papan nama, dan atribut lainnya. Berbeda dari SP2010, ketika SP2000 petugasnya tidak diberikan seragam. Namun, bekal 'petuah' masa kecil itu membuat saya berinisiatif menggunakan seragam kuliah dalam melaksanakan SP2000. Kejadian paling lucu dari penggunaan seragam ini adalah ketika saya berada di tengah perumahan kumuh. Saat itu hari belumlah siang benar, sebagian warga masih asyik dengan aktifitasnya masing-masing. Termasuk sekelompok bapak-bapak yang saya perhatikan sedang bermain judi. Walau dari jarak sekitar 50 meter, saya sudah bisa memperhatikannya dengan melihat tumpukan uang yang ada di meja. Begitu melihat saya yang berseragam (walau sekarang ini saya pikir-pikir saya kok nekat sekali, datang ke tempat-tempat seperti itu sendirian tanpa kawalan RT, hanya bermodalkan seragam!), hanya dalam hitungan detik meja tadi sirna dari pandangan saya. =D Diiringi sikap kikuk bapak-bapak tadi, yang beberapa diantaranya juga dalam hitungan detik menghilang dari pandangan saya. Hanya yang kurang beruntung saja yang terjebak dan tidak bisa pergi karena sudah terlanjur saya sapa. Dan kalimat sakti saya ucapkan, "Maaf Bapak, Ibu. Selamat siang. Saya petugas sensus dari Badan Pusat Statistik. Saya akan melakukan pendataan terhadap keluarga Bapak/Ibu. Ini surat ijin dari RT, juga telah diketahui oleh RW dan Kelurahan. Boleh saya minta waktunya sebentar?" Diiringi bisik-bisik tetangga sekitar, dan pandangan penuh tanda tanya, saya lanjutkan, "Ini gratis kok Bapak/Ibu. Dan informasi yang diperoleh bersifat rahasia --sambil menunjukkan kata-kata RAHASIA di ujung formulir sensus--". Maka satu persatu bapak-bapak yang menghilang tadi dengan segera sudah dapat saya temui lagi. Dengan polosnya salah seorang bapak berkata, "Maaf, mbak. Tadi saya pikir polisi..." Sungguh saya tak dapat menahan senyum. Semua yang mengenal saya tentu akan sepakat bahwa saya tidak akan masuk test kepolisian, mengingat tinggi yang tidak seberapa. =D Namun jawaban saya kala itu, "Terus... Kalau saya bukan polisi, Bapak akan meneruskan kegiatan Bapak tadi?" yang dijawab senyum kecut si Bapak. Dan kemudian saya pun beranjak dari tempat itu, diiringi langkah-langkah kaki anak-anak kecil yang berkata, "Mbak sensus... Mbak sensus... Rumah saya kapan didatangi?" 2. Mbak atau Mas? Masih di lokasi yang sama, seorang ibu memperingatkan saya, "Mbak... hati-hati. Yang tinggal disitu seorang waria..." Pada waktu itu, seumur hidup saya, baru sekali itulah saya berinteraksi secara langsung dengan seorang waria. Setelah berkali-kali mengetuk pintu sambil mengucap salam, dan tidak ada jawaban, saya beranjak pergi. Namun, dari kejauhan ada yang menghampiri saya. Seorang laki-laki muda mengenakan celana pendek, tanpa baju, dengan lilitan handuk di kepalanya. Sepertinya dia baru saja selesai mandi di tepi sungai sana, karena dia berjalan dari arah jembatan. Ketika saya menyapanya, "Maaf, Mas. Minta waktunya sebentar..." Dengan gusar dia menjawab, "Mas... Mas... Ngga bisa lihat ya? Mbak!" Tentu saja saya kaget. Penglihatan sayalah yang menyimpulkan saya memanggilnya Mas. Konsep jenis kelamin di dalam pertanyaan SP2000 (dan survey lainnya di BPS) hanya menyediakan dua kemungkinan jenis kelamin, yaitu Laki-laki dan Perempuan. Baru pada tahun 2009, ketika mendapat kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan survey yang respondennya adalah waria, dan saya berkesempatan mewawancarai salah seorang ketua kelompok waria, saya memberanikan diri menanyakan kepadanya, seperti apa saya harus menyapanya. Mengingat pengalaman kurang mengenakkan pada sensus pertama itu. "Mbak... (ya, saya memanggilnya Mbak. Walaupun secara hukum dia belum menjadi wanita. Untuk menjaga komunikasi di antara kami). Saya minta maaf sebelumnya. Tadi kita sudah berdiskusi bahwa secara fisik Mbak masih pria. Maka, bukan tidak menghormati Mbak, tapi di kuisioner ini saya harus mengisikan jenis kelamin Mbak adalah Laki-laki." Syukurlah dia tersenyum, menandakan ia tidak keberatan. "Boleh saya bertanya?" Lanjut saya. Lalu saya menceritakan kisah saya itu... Dan jawabannya adalah... "Kalau bingung, atau takut canggung, panggil saja Kakak..." ujarnya tersenyum, "Beberapa di antara kami memang beranggapan bahwa kami memang betul-betul perempuan, hanya berada dalam fisik laki-laki." Namun saya memutuskan sampai akhir wawancara tetap memanggilnya Mbak. 3. Copet itu masuk pekerjaan apa? Salah satu jenis pertanyaan dalam kuisioner SP2000 adalah pertanyaan tentang pekerjaan. Seperti biasa, prosedurnya adalah, mengucapkan salam, menyampaikan tujuan kedatangan, memperlihatkan ijin dari RT/RW setempat, dan menerangkan bahwa segala informasi yang diberikan bersifat rahasia. Dan hanya akan digunakan untuk kepentingan pendataan penduduk. Tibalah saya di rumah kontrakan. Sepertinya kamar berukuran 3x3 m ini disewa oleh banyak orang. Informasi dari salah seorang anggota rumah tangganya, kamar ini ditempati oleh 8 orang. Empat di antaranya bekerja dari malam sampai siang, dan empat lainnya dari siang sampai malam. Jadi, mereka menggunakan kamar ini bergantian. Empat yang bekerja di malam hari itu adalah pedagang di salah satu pasar yang cukup besar di dekat situ. Dua dari yang bekerja di siang hari bekerja sebagai juru parkir. Yang satu orang bekerja sebagai supir metromini. Dan lelaki di hadapan saya? Jawaban dari item pertanyaan pekerjaan adalah... "Copet..." Jawabnya santai. Saya memandangnya heran, dengan tangan refleks meraih tas untuk memastikan tas dan segala isinya berada di tempatnya. "Tadi mbak bilang ini rahasia kan?" lanjutnya lagi. Saya mengangguk. Sambil bingung, tentu saja. Menghargai kejujurannya, namun juga tidak mengerti, termasuk kategori lapangan pekerjaan apakah copet itu? 4. Rahasia? Rahasia. Tiba-tiba kalimat ini membuat saya pusing kepala. Dalam waktu kurang dari sebulan sudah banyak 'rahasia' yang harus saya pegang. Seperti tanpa sengaja saya jadi mengetahui 'urusan rumah tangga' orang lain. Seringkali responden sendiri yang bercerita, tanpa diminta. Seperti yang satu ini... Bersamaan dengan SP2000, waktu itu ada suplemen pertanyaan tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Targetnya adalah, mereka yang memiliki ketidaksempurnaan fisik dan/atau mental, tuna wisma, waria, psk, dan pengguna narkoba. Hari terakhir pelaksanaan pencacahan lapangan yang menjadi tugas saya. Tibalah saya di rumah besar, yang cukup membuat kesal. Karena penjaganya terus saja mengatakan tidak ada orang di rumah, dan menolak memberikan informasi apapun, bahkan untuk membuat janji dengan si pemilik rumah sekalipun. Ingin saja rasanya mengabaikan anggota rumah tangga ini dari penduduk Indonesia yang wajib saya datangi. Namun mau bilang apa? Di kunjungan ke empat, mungkin saya beruntung. Karena ketika penjaga rumah bilang, "Bapak tidak ada." Ada suara dari dalam yang bertanya "Siapa itu?" Dengan muka kesal saya menjawab, "Petugas Sensus, Pak." Akhirnya setelah menunggu 5 sampai 10 menit, Bapak itu mengizinkan saya masuk. Dan saya pun masih menatap penjaga rumah itu dengan kesal, karena telah membohongi saya. Sambil meminta maaf karena telah membuat saya menunggu, si Bapak meminta pelayannya untuk membuatkan saya minum. Lalu datanglah secangkir teh hangat dengan sepiring donat dari toko yang cukup terkenal. Tentu saja saya jawab, "Tidak usah repot-repot, Pak." Karena memang data yang dia berikan lebih berarti dari itu semua. Data terakhir yang harus saya dapatkan, untuk kemudian berlibur. Karena kegiatan SP2000 ini bersamaan dengan masa libur kuliah. Namun untuk menghilangkan rasa lelah dan ingin sekedar berteduh, di rumah ini betul-betul saya tanyakan semua item pertanyaan, yang sebetulnya tidak perlu saya tanyakan sekalipun (seperti jenis lantai, atap terluas, hehe... sebetulnya ini kan bisa dilihat). Dan tibalah pada pertanyaan PMKS. Jika sebelumnya si Bapak berkata bahwa pekerjaannya adalah Makelar Tanah, disini ia sepenuhnya mengakui bahwa ia adalah pengguna narkoba. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhannya itu pula, dia juga memperjualbelikan narkoba. Wah, tidak karuan rasanya mendapatkan info ini. Seringkali saya tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa begitu jujur pada orang yang baru dikenalnya, yaitu saya. Namun ya, tugas saya hanya merekam semua jawaban. Dan saya melakukan itu. Hingga tiba di akhir pertanyaan, dan saya pun memutuskan untuk segera beranjak pergi. Tentu saja saya khawatir akan keselamatan diri saya. Karena dia juga mengatakan, alasan bahwa ia sulit ditemui bukan karena semata-mata ia sulit ditemui, tapi sedang berada dalam kondisi yang tidak mungkin ditemui. Sebagai tuan rumah yang baik, dia meminta saya untuk mencicipi makanan dan minuman di hadapan saya. "Diminum dulu, Mbak. Kuenya juga dimakan..." Namun saya hanya diam, tidak menjawab. Terus terang saya khawatir ada sesuatu di makanan atau minuman itu. Diluar dugaan, dia berkata, "Jangan khawatir, Mbak. Ini bagian dari rejeki saya yang halal..." Tak urung saya tersenyum. Dalam hati saya berkata, "Bisakah dipisahkan mana yang halal dan mana yang haram..." ** Cerita di atas hanya sebagian saja dari sekian banyak cerita unik tentang sensus dan survey. Pekerjaan yang menarik, sebetulnya. Membuat kita dapat berinteraksi dengan segala macam lapisan masyarakat. Seringkali terpikirkan oleh saya, "Sebaiknya anggota DPR itu magang dulu jadi petugas sensus. Biar lebih baik dalam menyerap aspirasi rakyat, karena memang melihat, mendengar dan merasakan langsung bagaimana di lapangannya." judulnya kaya status relationship
Seorang teman (NHTW) menantang saya, menceritakan satu topik yang biasanya saya hindari. Ah, mengapa juga ia meminta saya menulisnya, dia kan tidak harus mengalami pilihan-pilihan itu... Menarik sekali, karena paginya, tiba-tiba status teman saya yang lain sepertinya menggambarkan keadaan itu. Keadaan yang diminta NHTW agar saya menuliskannya dalam sebuah notes! Menjadi sebuah dokumentasi resmi akan apa yang saya rasakan. (berfikir untuk kabur, lebih sulit menjawabnya dari ujian komperehensif! hehehe...) NHTW meminta saya menceritakan bagaimana rasanya menjadi alfa, ibu dan pns... (aggghhhh... unlike this!) seandainya ketiga subjek tersebut tidak saling beririsan di dalam diri ini, saya sih cuek-cuek aja akan menanggapi ketiganya satu per satu. Sayangnya, tidak mungkin NHTW mau menguji saya dengan masalah sesimple itu. Tepat sekali, ia ingin mengetahui bagaimana rasanya dilema seorang ibu yang bekerja sebagai pns dengan segala problematika birokrasinya, yang kebetulan dia ketahui bahwa saya adalah tukang protes yang keras kepala terutama disaat saya 'merasa' benar. *sigh* Harus mulai dari mana? Menjawab ini saja sudah sulit... Tapi teman, sepertinya tulisan ini juga tidak akan pernah selesai jika saya terus mengeluh. Baiklah. tarik nafas dulu, biar kaya sandiwara radio di RRI Seumur hidup, saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Kakek saya dari pihak ibu pns. Nenek saya dari pihak ayah pns. Dan keduanya buat saya adalah pns yang dapat saya banggakan. Kenapa? Karena mereka anti KKN. Kakek saya mantan kepala pegadaian, kalau dia mau, bisa saja dia masukkan anaknya menjadi pegawai pegadaian, tapi dia tidak melakukannya. Nenek saya seorang dokter yang juga merupakan penilik sekolah kejuruan, berkali-kali saya lihat dia menolak menerima parcel, bahkan menolak membuatkan surat keterangan sakit, jika pasiennya tidak benar-benar sakit. (om saya bilang, makanya nenek saya ngga bisa kaya, soalnya terlalu jujur, =P) Jika demikian, seharusnya saya punya role model yang bagus untuk menjadi pns. Namun, saya terlanjur muak dengan image pns. Selain kebanggaan saya pada kakek dan nenek, saya tahu mereka berjuang melawan idealismenya masing-masing, dan itu tidak mudah. Apalagi dengan jabatan yang pernah mereka sandang. Belum lagi, ketika usia sudah mulai menginjak 17 tahun, yang mewajibkan saya memiliki tanggungjawab administratif terhadap negara ini, yaitu memiliki Kartu Tanda Penduduk, membuat saya berurusan dengan birokrasi yang melelahkan. Sungguh, saya tidak pernah bercita-cita jadi pns karenanya. Orang-orang bilang, "Kan enak, Fa. Jadi PNS santai... banyak waktu luangnya..." Well, saya 'ngga tuh. Bahkan teman-teman saya seprofesi juga banyak yang kehabisan waktu. Coba bayangkan, jika semua orang menjadi pns bukan karena ingin berpartisipasi dalam pelayanan publik, tapi karena pendapatan tetap dan banyak waktu luang yang menjadi motivasi, 'ngga heran kalo tiap kali razia mall ada aja yang mengenakan seragam pns. Lha kerjanya untuk cari waktu luang kok... Yup, management waktu saya memang buruk, karena saya gemas melihat orang-orang yang selalu menunda pekerjaan. Sedangkan saya, jika ada pekerjaan saya yang tertunda hari ini, itu berarti saya harus mengatur ulang prioritas pekerjaan esok hari, yang seringkali menempati skala prioritas "harus segera dilaksanakan" karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Akhirnya, jarang sekali saya bisa pulang kantor on time. =( Menjadi alfa. Ini juga bukan sesuatu yang saya cita-citakan. Karakter itu katanya merupakan bentukan, bukan warisan. Entah bagaimana caranya menceritakan bagaimana rasanya menjadi alfa kepada teman-teman semua. Yang pasti, semua orang punya masalah. Saya merasa hidup saya ini tidak mudah, tapi saya tak pernah ingin bertukar kehidupan dengan orang lain. Sampai saat ini saya percaya bahwa apa yang terjadi pada saya adalah kombinasi dari kejadian terbaik yang mungkin terjadi pada saya. (sebenarnya ini juga sedikit terpengaruh oleh film Butterfly Effects, seandainya kita diberikan kuasa untuk mengubah keadaan pun, tidak ada yang bisa menjamin bahwa keadaan itu akan membuat perasaan kita menjadi lebih baik). Mungkin, jika saya tidak pernah melakukan kesalahan, saya tidak akan pernah bisa menghargai kebenaran. Mungkin, jika saya tidak pernah merasa terpuruk dan jatuh, saya tidak akan pernah mengerti apa pentingnya ketegaran. Mungkin, jika saya tak pernah sedih dan menangis, saya tidak pernah mengetahui betapa indahnya bahagia. Tak ada manusia yang sempurna, bukan? To live is to learn. Tidakkah kawan, dan saya juga, menginginkan tuk menjadi manusia yang lebih baik lagi? Namun begitulah, menjadi alfa yang kadang terlalu keras hati menghadirkan suatu konfilk, apalagi biasanya dengan mahluk tuhan dengan atribut manusia. Salah satu atasan saya pernah berkata, "Kamu itu emang cocoknya bekerja sama mesin aja. Jadi cuma ngertinya black or white aja... Kalo ngurusin orang, grey area nya banyak banget. Dan kamu ga bisa memaksa, meminta, atau berharap, semua orang mau mengerti apa yang kamu pikirkan. Walaupun kamu tahu kamu benar." --> ini nih yang bikin hidup jadi ribet, terlalu banyak toleransinya, baik untuk hal-hal yang prinsip sekalipun! Yah, begitulah, terutama untuk orang-orang yang agak sedikit konservatif, saya cenderung dianggap menyebalkan. Hehe... I get used of it! Jadi paling yang bisa saya katakan hanya berkata, "Baru tahu kalo saya nyebelin?" sambil ngeloyor pergi. --> baru sampai dua peran, silahkan bayangkan sendiri bagaimana rasanya menjadi saya 'di dalam' birokrasi. Menjadi ibu. Jika kebanyakan orang berkata bahwa menjadi ibu adalah kodratnya seorang wanita, saya berfikir bahwa menjadi ibu adalah pilihan. (beruntunglah semua yang dalam hidupnya selalu mempunyai pilihan, setidaknya ia tidak pernah menjalani suatu keterpaksaan, life is about making a choice, DB bilang, enjoy the risks... =) ) Cita-cita saya adalah menikah muda. Dengan harapan, waktu anak-anak membutuhkan saya sebagai teman ceritanya, teman curhatnya, perbedaan generasi antara saya dan anak saya tidak terlalu jauh, sehingga saya bisa lebih mudah mengambil posisi dalam usaha memahami mereka. Yup, saya berharap dapat menjadi teman bagi anak-anak saya. Sampai saat ini saya masih sering mempertanyakan, bisakah saya menjadi ibu? (terlepas dari semua komentar orang-orang di sekitar saya yaa...) Rasanya tugas seorang ibu itu beraaaaaatttttt sekali. Jauh lebih berat dari tugas saya sebagai pns. Jangankan untuk mempertanyakan diri bisakah saya menjadi ibu. Kadang saya malah masih sering bertanya, "Am I really a woman?" Hehehe... Jika image 'wanita' yang ada di masyarakat adalah harus bisa memasak, harus bisa mengurus rumahtangga, harus bisa mempercantik diri, wah... aduuuhhh... kayanya saya jauh-jauh dulu deh dari cermin. =) Pada saat lelah berfikir, mungkin dari awal saya salah, cita-cita saya adalah menjadi teman dari anak-anak saya. Padahal, peran saya seharusnya adalah menjadi ibu dari anak-anak saya. (muncul masalah baru, ya udah Fa, sekalian aja, jadi ibu juga menjadi teman, begitu seorang kawan memberi saran...) --> talk is always easy, my dear friend... Namun demikian, keraguan saya selalu sirna saat kedua bajaklaut saya memeluk dan berkata, "Alif sayang ibu... Attar sayang ibu..." yang kemudian, dengan harus menahan haru, berusaha menjelaskan keadaan ibunya yang bekerja ketika salah satu mulai berkata, "Attar suka ada ibu... makanya, ibu jangan pergi-pergi terus..." Be honest, kadang ingin meninggalkan dua peran sebelumnya dan tetap berada di peran ini saja. Bagian yang cukup sulit untuk saya ceritakan. Teman, pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa wanita harus bisa mandiri secara finansial. Agar, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tidak kehilangan sumber pencari nafkah. Dan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi. Salah satu sahabat saya pernah bertanya, "Memangnya kamu ngga percaya bahwa rejeki kamu itu ada di suami kamu, Fa?" Buat saya itu adalah dua hal yang berbeda. Saya percaya, bahwa suami saya adalah seseorang yang bertanggungjawab, dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi tetap, kembali lagi, pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa wanita harus bisa mandiri secara finansial. Cerita ini tidak akan pernah berakhir. Akan banyak argumen. Perbedaan kepentingan. Untuk menyingkatnya, kesimpulan saya adalah, tidak akan pernah mudah, membagi peranan-peranan dalam kehidupan yang harus kita jalani. Tapi bukan berati kita harus menyerah kan? Dalam setiap peranan, pasti ada yang dikorbankan, termasuk juga diri sendiri. Ketika harus memilih, buatlah pilihan yang bertanggungjawab, karena tidak hanya kita yang akan menerima akibat dari pilihan kita. Ketika sudah memilih? Enjoy the risks... thanks to NHTW for challenging me; and DB, i like the part: enjoy the risks kalau ada yg mau didiskusikan, di comment, atau di part two yaaaaa... =) 20 10 2009 12 11 Dear friends,
Mungkin sebagian dari teman-teman sudah mengetahui pekerjaan saya (yaiyalah, sekantor gitu lho). Untuk yang belum, saya ilustrasikan sedikit mengenai pekerjaan saya. Saya bekerja di sebuah lembaga pemerintah non departemen, berlabelkan BADAN PUSAT STATISTIK. Yang dilakukan lembaga ini adalah pengumpulan data, penyajian data, baik itu lewat survey dan sensus yang diadakan sendiri, atau pengumpulan dari instansi-instansi lain. Sebagai bagian dari keluarga BPS, tidak dapat dihindarkan bahwa data collection juga merupakan bagian dari pekerjaan saya. Mengunjungi responden, bisa perorangan, rumahtangga, perusahaan, tergantung dari jenis survey dan sensus yang sedang dijalankan. Memberi mereka pertanyaan, dan menjelaskan apa maksud dan tujuan dari kegiatan yang kami lakukan (responden berhak akan itu, sebagai pengganti 'waktu dan kesediaannya' menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan petugas sensus). Apa yang mau saya tulis disini adalah salah satu pengalaman survey sensus saya, yang sampai saat ini cukup membekas di hati. Mudah-mudahan juga dapat menjadi pengingat untuk saya ke depannya, bahwa hidup itu begitu berharga. Survey ini baru beberapa bulan lewat, masih di tahun 2009. Respondennya adalah perorangan, rumahtangganya dan rumahtangga pembanding. Salahsatu tujuannya adalah ingin melihat adakah perbedaan pola pengeluaran antara rumahtanga responden dan rumahtangga pembanding, selain itu apakah ada perlakuan tidak enak (diskriminasi) yang diterima responden dan keluarganya dari lingkungan sekitar. Memangnya siapa respondennya? Respondennya adalah teman-teman yang selama ini keberadaannya hanya saya ketahui melalui berita di media massa, jurnal-jurnal kesehatan,atau film, baik di televisi maupun layar lebar. Akhirnya, saya berkesempatan juga bertemu langsung dengan mereka dan melihat kehidupannya sehari-hari. (oh ya, sebagai petugas sensus, jika surveynya adalah mengenai kesejahteraan dimana ada pendekatan pengeluaran, kami diharuskan menanyai pengeluaran rumahtangga responden, dengan demikian sering terlintas di kepala saya bahwa seharusnya anggota dpr itu adalah para petugas sensus, karena mereka mengetahui kondisi masyarakat real sampai ke dapur-dapurnya, hehehe... atau, ya anggota dpr itu sekali-kali dilibatkanlah dalam kegiatan pencacahan lapangan, jangan bisanya cuma rapat dan tau teorinya aja). My new valuable friends, demikian saya akan mengatakannya, karena dari mereka saya mendapatkan pelajaran baru. Teman-teman saya yang merupakan responden dari survey ini diketahui menderita HIV+, suatu penyakit yang sampai sekarang secara medis belum ada obatnya. DAlam menjalankan survey ini, saya mendapatkan pendamping. Pendamping saya ini berasal dari salah satu organisasi peduli HIV/AIDS, dimana syarat untuk menjadi anggotanya adalah merupakan ODHA (orang dengan hiv/aids). Tentang penyakit ini, teman, saya bukanlah dokter yang dapat memberikan penjelasan secara tepat, silahkan teman mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang penyakit ini. Yang ingin saya ceritakan adalah pengalaman saya selama lebih kurang dua bulan mengamati dan berada bersama teman-teman baru saya ini. Berhubung survey/sensus bps itu bersifat rahasia, jadi saya tidak akan menyebutkan nama, nama tempat dan lokasi dimana saya melakukan pendataan. Maaf ya teman-teman, tapi teman-teman baru saya itu juga perlu privasi. =) I'm with HIV/AIDS Mungkin, jika Anda hidup sebatangkara di dunia ini, tak punya pekerjaan, dan tak perduli dengan status sosial Anda di mata masyarakat, tidak sulit untuk membuat pengakuan ini. Namun, bagi orang kebanyakan, dibutuhkan kesiapan mental untuk dapat mengakuinya. (menerima kenyataan menjadi ODHA saja sudah berat, apalagi 'membuka status' kita kepada orang lain). Salah satu peranan dari organisasi yang diikuti pendamping saya adalah memberikan layanan konsultasi. Lebih mudah mengatasi keadaan jika kita tahu kita tidak sendiri, dan ada yang mau perduli. Penting untuk ODHA mengetahui seperti apa HIV/AIDS itu, dimana ODHA bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, dan informasi-informasi terkait ODHA lainnya. Sekarang saya mengerti, mengapa organisasi teman saya itu menjadikan ODHA sebagai syarat anggotanya, siapa lagi yang mau betul-betul perduli terhadap ODHA selain ODHA itu sendiri? (Sebetulnya teman, ketika mendapat tugas untuk ikut serta dalam pendataan ini, saya takut. Saya takut bahwa responden saya, pendamping saya, dapat mengetahui rasa takut saya. Saya takut bahwa rasa takut saya tergambar dalam sikap tubuh saya tanpa saya sadari. Padahal, apa yang dapat menyebabkan seseorang terinfeksi HIV sudah saya ketahui melalui banyak referensi. Lalu saya bertanya, jika sudah tahu saja masih takut, bagaimana lagi jika tidak mengetahui apa-apa? Beruntung, suami saya mendukung dan banyak memberikan penjelasan kepada saya. Thanks, El...) "Apakah saya termasuk ODHA?" pernah ngga bertanya seperti itu? Ya, teman saya juga sulit menjawab ciri-ciri seperti apa sih yang memutuskan dia menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mengetahui status HIV nya. Teman saya bilang, kadang ciri-ciri itu terlihat jelas, tapi ada juga kasus dimana tidak ditemukan sama sekali ciri itu. Namun, jawab saja pertanyaan ini... Apakah pernah melakukan hubungan seksual beresiko? (hubungan seksual sesama jenis, hubungan seksual dengan pekerja seksual, termasuk juga hubungan seksual tanpa pengaman dengan orang yang tidak diketahui riwayat seksualnya --> bisa jadi pasangan kita sendiri lho...) Apakah pernah menggunakan narkoba suntik? Apakah pernah menerima transfusi darah? Apakah pernah mengalami infeksi menular seksual berulang? Apakah pernah sakit berturut-turut dalam waktu yang lama (3 bulan atau lebih?) Apakah mengalami penurunan berat badan secara drastis (lebih dari 10%)? Apakah ada jamur di mulut atau tenggorokan? kalau ada satu saja yang iya, siapkah teman mengikuti VCT (Voluntary Counseling and Testing -- ilustrasinya adalah melakukan test status HIV atas kesadaran sendiri, dimana dalam melakukannya teman-teman mendapatkan dampingan dari konselor, dimana peran konselor adalah memberikan informasi seputar hiv/aids, membantu teman dalam melaksanakan test, dan juga mendamping teman-teman saat mendapatkan hasil test, apapun hasilnya (positif atau negatif) -- lebih rincinya teman-teman dapat mengunjungi klinkik-klinik yang menyadiakan layanan VCT, beberapa puskesmas rujukan juga sudah ada kok) Nah nah nah... diawal cerita saya sudah bilang kan teman, tidak mudah menerima kenyataan menjadi ODHA. Ingin menyalahkan keadaan, tidak bisa menerima keadaan, makanya menurut saya, peranan konselor menjadi penting untuk melewati tahap-tahap ini. Bukan suatu keharusan untuk membuka 'status hiv' kita kepada siapapun juga. Namun, adalah suatu kewajiban agar menghentikan status ODHA sampai di diri kita sendiri. Setidaknya, mengetahui status ODHA membuat teman-teman mempunyai tanggungjawab baru, menjaga agar pasangan kita, keturunan kita nantinya, terbebas dari HIV. Begitulah misi dari organisasi yang teman saya ikuti itu... Bagaimana ini bisa terjadi? Teman, sampai saat ini, resiko infeksi HIV diketahui berasal dari beberapa kelompok resiko. Lewat cairan sperma dan cairan vagina, melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina), atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus. Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh. Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya. Jarum suntik/jarum tattoo, jika jarum suntik yang sudah tercemar HIV dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika Suntikan. Atau ada juka kasus melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah Penerima transfusi darah, yang menerima produk darah yg sudah tercemar HIV Mother-to child-transmission, penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan secara normal (lewat vagina), kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Terpapar tidak sengaja, maksudnya terjadi pertukaran cairan tubuh dengan ODHA secara tidak sengaja, ekstrimnya sih kata teman saya, ada kasus dimana anggota re***** terpapar HIV karena dalam melakukan penyelidikan kasus, terutama terhadap pengguna narkoba, suka melakukan kekerasan fisik. Padahal, kekerasan fisik itu selain membuat luka di tubuh ODHA, juga meninggalkan luka di lengan re***** tadi, sehingga memungkinkan terjadinya kontak darah dengan ODHA. Akhirnya, anggota re***** tadi jadi terpapar hiv juga... (mungkin pertanyaan di -I'm with HIV/AIDS- harus saya tambah satu, Apakah saya merupakan anggota/istri dari anggota re***** yang suka menggunakan kekerasan fisik?) Yang mendapat perhatian saya teman, adalah point 1 dan 4 di atas. Mengapa? Karena, teman-teman saya yang terpapar karena pasangannya sebagian besar tidak mengetahui status HIV pasangannya. Alasan utamanya bukan karena pasangannya yang merahasiakan, tapi karena sama-sama tidak mengetahui. Dan tidak menyadari, bahwa kegiatan beresiko yang pernah dilakukannya meninggalkan HIV di dalam tubuhnya. Untuk point ke 4 di atas, teman... Ada satu kisah, dimana saya tidak mampu menahan haru. Walau tetap berusaha sembunyikan. Salah satu responden saya merupakan keluarga ODHA. Ibu, bapak dan seorang anak kecil berusia empat tahunan, sama dengan anak saya yang bungsu. Walau tidak ada dalam kuisioner, saya menanyakan pada orangtuanya, hal apa yang mendasari mereka memeriksakan status HIV anaknya... Setelah sakit yang berkepanjangan, batuk-batuk tak henti, si ayah memeriksakan diri untuk mengetahui apa penyakitnya. Dalam pemeriksaan, setelah mengetahui riwayat si ayah yang mantan pengguna narkoba suntik (padahal kegiatan itu sudah dia hentikan sepuluh tahun yang lalu, jauh sebelum ia menikah), dokter menyarankan test hiv. Hasilnya pun positif. Si ayah menolak menerima kenyataan dan berharap telah terjadi kesalahan pada waktu test. Lalu ia mendatangi rumah sakit lainnya untuk menjalani test yang sama. Hasilnya? Tetap positif... Akhirnya, dia memutuskan untuk bercerita kepada istrinya tentang statusnya, dan memeriksa kesediaan istrinya untuk memeriksakan dii juga. Demikian juga dengan buah hati mereka. Sekarang mereka harus menerima kenyataan bahwa keluarganya adalah keluarga ODHA (si kecil, sejak lahir sudah sakit-sakitan, menurut orang tua dahulu, mungkin keberatan nama, hingga akhirnya si kecil sudah 3 kali ganti nama). Namun, tidak ada satupun keluarga mereka yang mengetahui keadaan ini. (yang sangat saya mengerti alasannya setelah saya mengunjungi rumahtangga pendampingnya sebagai kontrol). Prosedur dari survey ini adalah saya harus mendatangi rumahtangga pendamping sebagai kontrol, yang merupakan tetangga dari responden saya ini, tanpa membuka status responden saya sama sekali. Dengan kata lain, saya tetap berkewajiban merahasiakan status keluarga tadi. Awalnya, si ibu menolak, ketakutan. Butuh waktu untuk meyakinkannya bahwa saya berjanji akan merahasiakan statusnya. Hingga akhirnya dia mengantarkan saya kepada salah satu tentangganya... Setelah pertanyaan-pertanyaan dasar, masuklah kepada pertanyaan yang intinya ingin mengetahui ada/tidaknya diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Dimulai dari pengetahuan rumahtangga terhadap penyakit menular seperti HIV/AIDS, apa yang mereka ketahui, darimana memperoleh informasi. Lalu pertanyaan berikutnya adalah, "pernahkah bertemu dengan ODHA?" yang dijawab "iya..". Dengan rasa deg-degan tak karuan, saya takut secara tidak sengaja saya membuka status keluarga tadi, saya bertanya "di mana?" padahal pertanyaannya tidak ada di kuisioner... "Di kampung ini mbak, tapi sekarang orangnya udah ngga ada, sudah kita usir..." Saya sedikit bernafas lega, bukan respondenku berarti... Saya lanjutkan bertanya "Memangnya mbak tahu dari mana orang itu kena HIV?", ya, kadang untuk menggali informasi, walaupun pertanyaan tidak ada di kuisioner ditanyakan juga. "Gini mbak... kan anak itu pacaran sama anak kampung sini. Eh masa, pas lagi pacaran, ceweknya dipegang, trus si ceweknya kejang-kejang, dibawa ke rumahsakit, terus meninggal deh... ya udah, kita usir aja itu anak dan keluarganya..." Di dalam hati ingin deh bilang "Mbak ini, jangan-jangan kalo kejang-kejang ceweknya itu kena epilepsi..." dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga yang terusir tadi, juga bisa mengerti ketakutan keluarga tadi seandainya tetangga mengetahui statusnya... Lalu, dengan pengetahuan seadanya, saya sampaikan pada rumahtangga ini, bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui makan dan minum bersama, atau pemakaian alat makan minum bersama, pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam renang, ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya atau lewat keringat, dan gigitan nyamuk. Maksudnya, biar tidak salah informasi lagi... I want to live longer... Menjadi ODHA bukanlah suatu pernyataan bahwa 'Kamu akan mati besok'. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembangbiakan virus hiv dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV. Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan. Seseorang dapat menjadi HIV positif. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS. Ada satu therapy, yaitu antiretroviral therapy/terapi ARV. Meski tidak bisa menyembuhkan, terapi ARV bisa memperpanjang hidup pengidap HIV positif dan membuat mereka hidup lebih produktif. Terapi ini mampu mengurangi jumlah virus HIV dalam darah dan meningkatkan jumlah sel CD4 positif (jumlah limfosit yang melindungi tubuh dari infeksi). Obat-obatan ARV digunakan dalam terapi untuk infeksi HIV. Obat-obatan ini melawan infeksi dengan memperlambat replikasi virus HIV dalam tubuh. Ini berarti menghambat penyebaran virus dengan mengganggu proses reproduksi virus. Dalam sel yang terinfeksi, virus memperbanyak diri sehingga bisa menginfeksi sel-sel lain yang masih sehat. Makin banyak sel terinfeksi, kekebalan tubuh kian turun. Untuk mereplikasi diri, HIV butuh enzim reverse transcriptase. Obat-obatan ARV memperlambat kerja enzim itu dan mengacaukan replikasi virus dengan mengikat enzim tersebut untuk menghentikan produksi virus baru. Obat-obatan itu juga menghambat protease-enzim pencernaan pemecah protein dan enzim dalam sel terinfeksi. Mengkonsumsi ARV membutuhkan tingkat kedisiplinan yang tinggi. Bagaimana tidak, obatnya harus diminum 12jam sekali, tidak boleh terlambat. Beberapa teman memasang alarm di handphone nya untuk mengingatkan jadwal minum obat ARV nya. Bagi saya, menghabiskan antibiotik saja sudah siksaan, padahal, itu hanya sepuluh butir obat, yang harus dihabiskan dalam waktu kurang lebih 3 hari. Teman-teman saya itu harus melakukan itu setiap hari tanpa henti, seumur hidupnya. Sekarang saya belajar bahwa menjadi sehat itu mahal dan menjadi lebih perduli terhadap kesehatan diri... Serangkaian usaha yang panjang yang harus teman-teman saya lakukan itu hanya untuk satu keinginan, hidup lebih lama. Doa saya, juga doa teman-teman saya itu, semoga pemerintah dapat terus mensubsidi obat ARV, karena untuk bertahan hidup saja sudah susah, apalagi kalau harus membeli obat-obatan yang harus dikonsumsi seumur hidup, dengan harga yang tidak murah. Souvenir for me... Di salah satu klinik VCT, saya mendapatkan sebuah souvenir. Souvenir yang berawal dari pertanyaan saya yang mungkin terdengar iseng... dan tidak disetujui. Ya, karena alasan privasi tadi itulah. Saya ingin mengetahui bagaimana proses test hiv itu dilakukan. Ceritanya sih, darah klien (orang yang akan diuji) diambil, ga banyak kok, hanya beberapa cc. Lalu, terhadap sample darah tersebut dilakukan uji, apakah terdapat antibodi yang merpakan indikasi hiv di dalam tubuh. Ketika tubuh kita diserang virus, pastinya membentuk suatu antibodi yang merupakan mekanisme pertahanan diri terhadap virus/benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Antibodi ini lah yang diuji. Namun permintaan saya ditolak, mungkin karena terdengar iseng kali ya? Namun, sebagai gantinya, saya diberikan suatu alat, namanya Ora-Quick, yang juga dapat digunakan untuk test HIV. Tentang alat ini, saya sudah mendengar dari teman saya di organisasi sebelumnya. Namun, katanya, menjadi tidak populer karena ada kekhawatiran kesalahan persepsi, bahwa air liur juga bisa menularkan HIV. Padahal, yang dicek ya antibodinya tadi. Teman saya memberikan contoh yang ekstrim lagi (sama ekstrimnya kaya anggota re***** tadi), kalo tubuh saya disayat-sayat sehingga ada luka dimana-mana, lalu disiram dengan satu galon air liurnya Odha, baru saya mungkin terinfeksi HIV, itupun masih mungkin lho... Lagipula, karena alatnya berupa test pack yang dapat digunakan sendiri, teman saya itu tidak menganjurkan untuk menggunakan, "Lebih baik didampingi," katanya "Kalo hasilnya 'memuaskan'", positif maksudnya, "ada teman yang bisa diajak konsultasi..." Cara kerja alat ini kurang lebih seperti alat tes kehamilan yang biasa saya gunakan. Saya harus mengambil sejumlah air liur, dari langit-langit mulut saya, pokoknya dari sekeliling mulut saya deh. Lalu, terhadap alat yang sudah ada air liur saya itu, diberikan cairan. Dan, seperti juga orang yang sedang menunggu hasil tes kehamilan, silahkan berharap-harap cemas apakah garisnya akan berhenti di satu garis (artinya negatif) atau masih ada garis kedua (artinya positif). Begitu kira-kira cara kerjanya.... Permasalahannya... Apakah saya berani menggunakannya? Hehehe... Semua yang mendengar cerita saya ini selalu bertanya seperti ini, "Emang elu ngapain, Fa? Sampe penasaran pengen test segala..." Yah, dua bulan lebih saya menjadi teman curhat, dengan latar belakang kasus yang berbeda-beda. My valuable friends, yang saya ceritakan tadi, ternyata datang dari berbagai kalangan, yang tidak dalam dugaan saya sama sekali. (Jika seorang PSK terkena HIV, mungkin orang tidak akan heran. Tapi jika seorang guru TK terkena HIV? Orang akan bertanya, masa lalu guru TK tersebut. Sejuta klaim buruk mungkin diarahkan padanya, padahal, yang ia lakukan hanya mencintai suaminya. Yang tidak diketahuinya sama sekali, bahwa suaminya adalah ODHA.) Akibatnya, kekhawatiran saya semakin tinggi. Khawatir terhadap diri saya sendiri, khawatir terhadap pasangan, khawatir terhadap lingkungan, ah, serba khawatir deh pokoknya. Butuh waktu berminggu-minggu untuk saya hanya sekedar memutuskan apakah akan menggunakan alat itu atau tidak. (benar kata teman saya itu, tidak baik melakukannya sendirian, bisa-bisa, kecewa dengan keadaan, terus jadi melakukan tindakan-tindakan diluar kewajaran). Lalu, yang saya lakukan adalah konsultasi dengan suami. Yang dijawab dengan senyum-senyum, "Ya udah... biar ilang penasarannya, dicoba aja... Kalo ngga dicobain juga, pasti khawatirnya ga ilang-ilang..." Lagi-lagi saya bertanya, "Terus, kalo positif, gimana, Yah?". Karena terus terang, positif akan menghasilkan pertanyaan baru. . . "I'm here with you, kalo ibu positif ya nanti ayah test juga..." (yang belakangnya ga didengerin tuh, I'm here with you-nya itu yang penting... hehehe...) So, akhirnya, karena mendekati batas kadaluwarsa dari alatnya juga... saya coba juga alatnya... Sambil nunggu, mondar-mandir gelisah ga karuan, lebih heboh dari waktu nunggu hasil test pack waktu mau hamil anak kedua... Hasilnya? Alhamdulillah, negatif... Besoknya, ketika bertemu teman saya yang dari organisasi itu, saya sampaikan "Mas, udah dipake alatnya... Alhamdulillah, negatif..." Kata teman saya itu "Alhamdulillah... eh, jangan-jangan lagi dalam masa window period?" katanya menggoda saya... tapi kali ini saya jawab dengan yakin "Hehe... Insyaallah ngga deh..." buat teman-teman yang baru akan menikah, berdasarkan pengalaman saya dalam survey ini, saya menyarankan untuk melakukan medical check up terlebih dahulu bersama pasangan, terutama mengenai penyakit menular yang berpotensi untuk diwariskan terhadap keturunan kita, menyesal kemudian tidak ada gunanya... --> bayar utang cerita ama temen-temen warstat --> surabaya, 18 0ktober 2009 Membaca judul di atas, mungkin Anda akan bertanya. Apakah ‘petugas sensus’ adalah sebuah profesi? Jawabannya adalah YA. Saya akan menceritakan profesi saya kepada Anda, sebagai seorang Petugas Sensus.
Untuk generasi sembilan puluhan ke bawah, pilihan cita-cita itu sangat sedikit sekali. Antara menjadi guru, insinyur, dokter atau pilot. Demikian juga saya. Sama sekali saya tidak pernah bercita-cita menjadi seorang petugas sensus. Bahkan, mengetahui bahwa profesi itu ada barulah ketika mengikuti ujian masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Pada saat itulah saya mengerti, ada kegiatan yang bernama Sensus dan Survey. Jadi saya sangat mengerti jika Anda juga tidak menganggap Petugas Sensus adalah sebuah profesi. Apa yang dilakukan seorang petugas sensus? Apa hebatnya seorang petugas sensus jika dibandingkan dengan seorang guru, yang berjuang menyebarkan ilmu dalam tujuan untuk mencerdaskan bangsa? (Saya tidak membandingkan petugas sensus dengan insinyur, dokter atau pilot. Mengapa dengan guru? Karena pada umumnya, kehidupan petugas sensus sama sederhananya seperti kehidupan seorang guru. Bisa saya katakan, profesi ini bukanlah profesi yang menjanjikan kesejahteraan, tapi akan mengajarkan kepada Anda apa artinya perjuangan). Sederhananya, yang dilakukan petugas sensus adalah mengumpulkan data. Data ini bisa tentang apa saja. Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, status perkawinan adalah contoh data-data pokok yang biasa petugas sensus kumpulkan. Selain itu, ada juga data tentang pengeluaran rumahtangga, pengalaman kerja, dan lain-lain sesuai dengan jenis Sensus atau Survey yang dijalankan seorang petugas sensus. Untuk apa data itu dikumpulkan? Disusun untuk kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk menggambarkan suatu keadaan. Hasil dari semua sensus dan survey kemudian dijadikan dasar dalam menentukan perencanaan pembangunan. Lalu, mengapa saya katakan bahwa menjadi seorang petugas sensus adalah sebuah perjuangan? Karena banyak orang yang tidak menyadari kami ada, tidak mengetahui apa yang kami kerjakan, dan untuk apa kami mengerjakannya. Seringkali kami hanyalah dianggap orang-orang ‘kurang kerjaan’ karena menanyai hal-hal kecil seperti ‘Apa saja yang dikonsumsi selama seminggu terakhir? Berapa liter berasnya? Sayuran apa saja yang dikonsumsi? Berapa harganya?’ Itu hanyalah sebagian kecil pertanyaan dari set pertanyaan yang biasa ditanyakan petugas sensus dalam Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Pertanyaan yang dianggap ‘kurang kerjaan’ tersebut sebenarnya bertujuan untuk menghitung perkiraan kesejahteraan suatu rumahtangga berdasarkan penghitungan kebutuhan kalori per anggota rumahtangganya. Pertanyaan sederhana, yang jawabannya sebenarnya menentukan nasib bangsa ini ke depannya. Masalahnya adalah, Anda tidak akan merasakan dampak langsung dari hasil pekerjaan kami. Seorang guru jelas-jelas memberikan ilmu kepada anak didiknya, dalam proses belajar mengajar. Seorang petugas pos mengantarkan surat langsung ke tangan Anda. Layanan apa yang diberikan seorang petugas sensus? Tanpa Anda sadari, kami adalah para ‘penyambung lidah’. Lewat pertanyaan-pertanyaan kami, kami mencatat keadaan Anda. Untuk kemudian kami teruskan kepada Pemerintah negeri ini, seperti inilah potret kehidupan masyarakatnya. Tapi ya, yang bisa kami berikan memang hanya sebatas data, karena kami tidak diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan. Ketidaktahuan Anda terhadap keberadaan kami menjadikan tugas kami menghadapi serangkaian kesulitan. Penolakan Anda terhadap kedatangan kami, menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Atau sikap Anda yang menjawab sekenanya terhadap pertanyaan-pertanyaan kami. Bagaimana mungkin kami bisa menyediakan data yang akurat jika Anda tidak menganggap kami ada dan memiliki tugas yang nyata, yang berpengaruh terhadap bagaimana Pemerintah negeri ini akan melayani Anda? Beberapa di antara kami menyeberangi lautan, mendaki gunung, untuk mengumpulkan jawaban dari pertanyaan demi pertanyaan dalam suatu kegiatan survey atau sensus. Beberapa di antara kami bekerja sampai jauh malam, karena kesibukan Anda menyebabkan kami hanya bisa menemui Anda di waktu malam, karena Anda tak ingin akhir pekan Anda diganggu oleh keberadaan kami. Beberapa di antara kami menjadi teman ‘curhat’ Anda terhadap kondisi pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat di negeri ini, setelah kami menjelaskan kegunaan dari pertanyaan-pertanyaan kami adalah menyediakan data untuk mendukung perencanaan pembangunan. Beberapa di antara kami harus puas berhadapan dengan anjing penunggu rumah karena bukan tamu yang ditunggu pemilik rumah, sehingga pemilik rumah menganggap kami tidak layak untuk ditemui, dan mengutus anjing penjaga rumah untuk menjawab salam kami. Dan beberapa dari kami terbiasa menghadapi pengusiran pemilik rumah, karena disangka sebagai petugas pengumpul sumbangan. Tentunya saya menceritakan profesi saya ini kepada Anda bukan dengan maksud mengeluh. Tapi untuk mengenalkan profesi saya kepada Anda. Sehingga di pertemuan kita selanjutnya, Anda dapat menerima para petugas sensus tadi, menjawab pertanyaan-pertanyaannya (tentu saja, Anda memiliki hak untuk melihat surat tugasnya, dengan tujuan untuk menjaga keamanan data pribadi Anda, dan meyakinkan Anda bahwa memang dihadapan Anda adalah seorang petugas sensus yang telah ditugaskan negara untuk mendatangi Anda. Selain itu, Anda berhak untuk melihat daftar pertanyaannya, dan bertanya tentang maksud dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena sebagai petugas sensus, kami telah dilatih secara khusus mengenai tujuan dan maksud dari setiap pertanyaan) dengan apa adanya. Sehingga, data yang kami berikan kepada Pemerintah ini menjadi semakin sesuai dengan keadaan sebenarnya. Menanamkan sebuah pengertian, bahwa jawaban Anda menentukan masa depan bangsa. Surabaya, 25 Juli 2009 Untuk semua KSK, Mitra Statistik dan teman-teman di BPS seluruh Indonesia. Sebagai 'facebook addict', ternyata saya ini jadi cukup populer, padahal tidak ada niat untuk mempromosikan diri, Walau kadang2 itu menguntungkan karena banyak orang yang tiba-tiba merasa mengenal saya secara dekat. =)
Saya pernah mempunyai pengalaman buruk dalam menerima teman (fasilitas add friend di facebook), dimana saya meng add seorang pria yang mengajak berkenalan. Akhirnya saya mendapat perlakuan tidak enak yang membuat saya lebih berhati-hati dalam mengkonfirmasi permintaan untuk berteman. Salah satu caranya adalah mengabaikan orang-orang yang mengajak berteman menggunakan fasilitas invite tool, atau orang-orang tanpa identitas jelas (tidak ada foto dan minim informasi). Satu minggu sebelum keberangkatan ke Surabaya saya meng-update status di facebook, bercerita bahwa saya mengalami kesulitan dengan topik thesis saya, karena belum ada bayangan sama sekali apa yang akan saya riset. Maksudnya, siapa tahu ada feedback menarik dari teman-teman yang lain, yang bisa saya pertimbangkan untuk dijadikan topik thesis. Beberapa hari kemudian, ada satu pesan masuk dari seorang pria tak berfoto dengan pesan singkat "Sudah dapat apa yang dicari?". Ketika saya melakukan identifikasi terhadap pria itu, ternyata kami tidak berteman. Dan tidak ada informasi yang dapat saya gunakan untuk membuat keputusan apakah pesan ini perlu dibalas atau tidak. Dan saya memutuskan untuk tidak membalasnya, mengingat saat itu saya juga tidak mengerti apa maksud pesannya, karena status saya di facebook sudah berganti lagi. Jadi tidak terfikir sama sekali bahwa pesan itu adalah feedback status saya yang lalu. Lalu saya pun berangkat di Surabaya. Banyak pesan masuk baik feedback terhadap status saya yang bisa dibaca semua orang, maupun lewat jalur pribadi yang membuat saya merasakan manfaat yang besar dari jalur pertemanan ini. Ada yang menawarkan rumah kost, tawaran bantuan jika memerlukan guide selama di surabaya, referensi kuliner tempat-tempat yang sayang untuk dilewatkan, dan lain-lain. Baik itu dari orang yang betul-betul saya kenal, maupun kenal karena temannya teman, atau tidak kenal sama sekali (dalam rangka sosialisasi sensus penduduk 2010 saya memang cenderung meng add friend selama namanya masih menggunakan nama Indonesia, dengan tujuan orang itu suatu saat akan menjadi target sosialisasi saya) Lalu kembali masuk pesan dari pria yang tidak saya kenal tadi, yang saya abaikan pesannya terdahulu. Intinya, pria itu menanyakan apakah saya jadi ke Surabaya untuk menyelesaikan judul. Barulah saya mengerti maksud dari pesannya terlebih dahulu. Sepertinya jika ada orang yang menawarkan bantuan, sayang untuk dilewatkan. Lalu saya memutuskan untuk membalas pesannya, bahwa saya sudah ada di Surabaya. Apakah beliau bermaksud menawarkan usulan topik? Mulailah terjalin komunikasi dua arah, dimana beliau memberikan nama suatu tempat dimana katanya saya akan menemukan 'banyak orang statistik'. Yang juga saat itu saya berfikir, bersama saya saja sudah ada 24 'orang statistik', belum lagi teman-teman kantor di BPS Provinsi DKI Jakarta, tempat dimana saya ingin melakukan penelitian yang bisa diaplikasikan nantinya. Tapi entah kenapa, saya belum juga tergerak untuk menanggapi pesan tersebut secara serius. Mungkin pria itu berfikir, saya ini serius atau tidak, karena menyambut tawarannya dengan sekenanya saja. Lalu dia membalas, kalau memang niat, silahkan datang ke kantornya, atau mencarinya ke kantor, Insyaallah dia akan membantu. Dalam hati, ini orang sok terkenal amat ya. Baru kali ini nyampe Surabaya, sudah disuruh-suruh pula ke suatu tempat yang namanya saja baru dikenal lewat pesan beliau itu. Apa sih maunya, mana mempertanyakan niat saya dalam melakukan penelitian. Dengan agak sedikit kesal, saya jawab, "Niat dong... Emang dimana sih kantornya?" Mungkin akhirnya dia sadar bahwa saya tidak mengenalnya sama sekali. Lalu jawaban terakhirnya adalah, "Coba cari data ke BPS Provinsi..." (yang mana ada 33 Provinsi di Indonesia ini, hehehe...) Kembali berfikir, bagaimana mungkin ada orang yang menyarankan saya mencari data ke BPS. Sebagai pegawai organik BPS tentunya saya tahu kemana harus mencari data. Mulailah terlintas, sepertinya orang ini sama sekali tidak bermaksud iseng. Dan mungkin dia adalah pegawai BPS juga. (Biasanya saya melakukan searching di community untuk mengetahui pegawai organik BPS, namun entah mengapa hal itu tidak saya lakukan untuk mengkonfirmasi informasi beliau itu dahulu). Bersama saya, ada seorang tugas belajar dari BPS Provinsi Jawa Timur, melalui dia, saya tanyakan, "Apakah Anda mengenal Pak X?" Jawabannya lalu membuat saya tersenyum kecut (untuk yang pegawai negeri, melihat kastanya tentunya dapat mengerti posisi saya yang staf biasa-non eselon, dan Kabid yang eselon III), dan sedikit salah tingkah karena sudah menganggap orang itu sok terkenal, hehehe... "Pasti 'Fa. Dia itu Kabid Y di BPS Provinsi Jawa Timur." Dan segala petunjuk dalam pesannya itu baru dapat saya mengerti dengan sangat baik sekali. Nama tempat yang dia sebutkan adalah alamat kantor BPS Provinsi Jawa Timur, yang menurut dia banyak orang statistiknya. Undangan main ke kantor itu dalam rangka mencari data dan konsultasi, karena memang Jawa Timur mempunyai kekhasan karakteristik dengan jumlah Kabupaten/Kota yang besar dan keterwakilan dari setiap kategori Kabupaten/Kota (Kota besar sampai ke Kabupaten kecil). Walau belum sempat bertemu langsung, lewat catatan ini saya meminta maaf kepada yang bersangkutan karena mengabaikan niat baiknya. Dan menyadari betapa beruntungnya saya mendapat perhatian dalam usaha menyelesaikan Tugas Belajar ini. Sepanjang hidup saya, sekolah, kuliah, kerja, saya gak bisa bebas dari seragam... dah nasib kali ya... tapi, belum pernah saya semalu kemarin dengan seragam ini... Ceritanya gini...
Saya sedang di loket sudin kependudukan dan catatan sipil (masih ngurusin ktp dari bulan apaan tau... Soal ktp itu, akhirnya saya ngadu ke camatnya bahwa setelah dengan susah payah saya ngumpulin semua berkas pun saya masih diminta 50rb per ktp. setelah si ibu yang minta duit dipanggil camat, dia berkelit bahwa 50rb itu untuk ongkos bajaj, dia bolakbalik ke kantor walikota untuk bikin nota keterlambatan --yg biayanya 10rb saja, padahal ngapain dia repot2 ke kantor walikota, lha wong saya kerja di situ). Sambil merapikan berkas2, di sebelah saya ada bapak2 yang mau bikin akte kelahiran anaknya. Setelah mengisi formulir, bapak itu ditanya oleh penjaga loket. PENJAGA LOKET(PL): Bapak, saksinya mana? Bapak2 (B2): Saksi apa? PL: Begini Pak, mengurus akte kelahiran harus didampingi dua orang saksi... Saya yang kebetulan mendengar hal ini, menawarkan diri untuk jadi saksi sama si bapak. Kasian kan kalo dia harus balik lagi ke rumah... PL: Eh, gak bisa begitu... enak aja maen comot saksi sembarangan. Harus orang daerah situ yang tau kelahirannya... Saya hanya mengangkat bahu. Dan meneruskan kembali memeriksa kelengkapan berkas saya... PL: Tapi kalo bapak gak mau repot, kita bisa nyediain saksi disini. Tapi nanti bapak ngasih transport ya... Ya sekitar 15-20 ribu lah... Saya hanya tersenyum. Sepertinya ludah si PL belom kering ketika baru saja menghardik saya, tentang tidak bisa pakai sembarangan saksi. Si bapak memandang heran kepada saya, mungkin ingin bertanya, kalo sama saya bayar berapa? Sayang dia gak nanya, karena kalau iya, saya pengen jawab: Saya bersedia jadi saksi, GRATIS... Kemudian saya bersyukur, tidak ada satupun anak saya yang lahir di Kota Jakarta ini... Lalu saya bingung, apa bedanya saya, yang menawarkan jadi saksi, dengan saksi yang dicarikan PL tadi? |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|